Puisi-puisi Darwin
Darwin, lahir di Pelalawan, Riau pada 10 September 1986. Menyelesaikan pendidikan tingginya di Yogyakarta. Puisi, cerpen, dan esai pernah dimuat di Riau Pos, Pikiran Rakyat, Koran Sindo dan IndoProgress.com. Karya buku: antologi puisi “Tunggu Aku Mengucap Cinta” (Diandra/Yogyakarta/2015). Kini bergiat dan tinggal di Pekanbaru, Riau.
Mata Sederhana
dengan apa dirimu kupandang?
aku hanya punya sepasang
mata sederhana
mata yang mencelat saat bersua silau dunia
mata yang tak lagi beradu
bungkal-bungkal es bagi ikan yang singgah-
menyelusup jaring nelayan di teluk-teluk berpuaka
dari hasil tenung kaulah gemunung
tak tembus pandang mata nan telanjang
terisik dari mimpi yang pulas, kau bak seikat rembang petang
hanya sekilas
bila kupicingkan mataku semakin
jauhlah dirimu apalagi bila kukebat dengan
tali duniawi yang berpilin-pilin
gelap terkakaplah diri ini
ah… aku tak sanggup bersitatap denganmu
aku tak bisa jadi mata
pedang yang menghunus ke arahmu
mungkin sesudah aku mencebur ke dalam
apimu barulah lesatan cinta sangkil di mata
dan menjalar di ceruk dada…
Curhat Mambang
sudah kutuntun dirimu membaca
angin menghafal isi hutan
menerka kedalaman sungai
bahkan mantra-mantramu saat menyeruku
sebelum menapaki pematang, menyelami laut dan teluk
kukabulkan supaya senyum membayang
di bibirmu
kuatur arah bidik tombak
kuarahkan rusa menuju lingkar siding
hama air dan tanaman tak kubiarkan
melayukan tetangkai padi
ikan berebut mata pancing
kaki pipit tak hendak merapah padi di jemuran
supaya dirimu bisa duduk ditingkahi senyum
yang berlapis-lapis
juga gurau yang memenuhi seisi rumah
saat dikau mencari kutu di sore yang gerimis
tapi…kini ada yang menyelempung
tak bersitabik
tak ada lagi daun pimping
mencemuk muka
tiada sua gerak tujah
di relung tanah saat berladang
tak jumpa budak-budak mencekau belalang
serta tak terisik dentung tumbuk padi muda
kau bersekutu dengan besi-besi
kau tak menyeruku lagi
mantra hilang
aku hanya bisa mengutuk diri
di kedalaman danau dari
balik gersang lembah
juga dari dalam tanah tak berhara
dan
setelah itu
aku berubah
jadi Nuh
berhibuk dengan bahtera
menunggu air bah
Pekanbaru-Pelalawan, 2018
Di Lantai 3 Aku Bukan Siapa-siapa
di kehampaan hanya ada
dua menara masjid yang kupandang
sementara angin berkelok
gegap-gempita daun-daun
burung-burung terbang
gemetar ubun-ubun
gedung menahan dingin
bergelut dengan kekusaman
ditinggal pemilik yang
terbuang di sudut jil
maka, kubayangkan semua
sebagai kuasa
aku tak hendak merubuhkan tebing
cahya mentari terlalu kuat menyerbu
mataku
ia laksana kelewang
haji fisabilillah teluk ketapang
sementara langit berganti-ganti rupa
biru
ungu kadang
hitam
nyamuk mematahkan sayapnya
langau jatuhkan badan
gerhana dalam tubuh mendesak-desak hendak keluar
akhirnya, sebuah petuah merecup: singkap lagi kesejatian dalam
diri ini
Riau 2018